Rabu, 01 Mei 2013

Daya Saing: Menjadi Nomor 1 di Abad 21


Oleh: Jannerson Girsang

Hari ini saya merasa kurang enak badan, karena terlalu letih beberapa hari terakhir ini. Tetapi kondisi tidak fit bukan berarti tidak bisa menghasilkan sesuatu. Membaca!. Sebuah buku menarik di Google menarik perhatian saya dan membacanya sepintas. Judulnya “Menjadi No 1 di Abad ke-21”.

Daya saing menjadi kata kunci, hidup di abad ke 21. Kemajuan teknologi memang telah membuat hidup kita lebih mudah di dunia yang terbuka saat ini.  Di lain pihak  kita juga perlu energi yang lebih besar kalau ingin berada di dalam posisi unggul.

Apapun pekerjaan kita, apapun usaha kita, sekuat apapun Negara kita, akan menghadapi pesaing yang semakin besar. Posisi unggul saat ini, memiliki rakyat yang kaya dengan ide-ide baru, di lain tempat muncul kiat lain dengan daya saing yang lebih unggul. 

Satu-satunya cara untuk bertahan--apalagi ingin menjadi orang nomor 1, adalah memiliki daya saing. Setiap orang, perusahaan, lembaga akan dipengaruhi daya saing. Menghadapi tantangan masa kini, dan mempertanyakan asumsi dasar. Itulah kebijakan persaingan terbaik. Bukan menjelekkan atau merusak yang lain supaya kita kelihatan baik. 

Buku ini mengatakan: "Daya saing, seperti gravitasi memengaruhi segala sesuatu. Sebagian lebih terpengaruh dibanding yang lain karena ukuran dan posisi mereka, tetapi daya saing tidak bisa dihindari—tak ada tempat bersembunyi di dunia baru yang penuh tantangan ini”.   

Tak ada pilihan lain kecuali memahami dan beradaptasi dengan daya saing. Apa itu daya saing, cara kerjanya, cara daya saing mendefinisikan aturan sukses. Itulah inti buku ini.  

Daya saing (competitiveness) adalah “memiliki keinginan untuk bersaing”. Kata bersaing menunjukkan arti menjadi “saingan” atau berupaya menyamai (yang lain atau menyamai kualitas), dan pada akhirnya “berupaya keras meraih keunggulan”. 

Daya saing adalah meraih sesuatu tetapi tidak merugikan yang lain. (jelas perilaku korup bukan prinsip daya saing).  Tujuan akhir daya saing adalah meningkatkan keseluruhan tingkat kemakmuran sebuah Negara beserta masyarakatnya.  Menghasilkan suasana yang harmonis diantara sesama bangsanya dan dengan umat manusia di dunia ini.

Beda dengan pemahaman persaingan dari anak-anak sekolah yang tawuran, para politisi yang saling melemahkan untuk muncul seolah “unggul” di atas penderitaan orang lain.

Kemakmuran bangsa ditentukan tiga kekuatan utama: daya saing perusahaan—difokuskan pada keuntungan, daya saing manusia—difokuskan pada kesejahteraan personal, dan daya saing bangsa—difokuskan pada kemakmuran terus menerus. 

Daya saing perusahaan sangat tergantung pada asset non fisik, seperti merk, kesetiaan pelanggan, citra, keahlian, dan proses, yang secara umum tidak dapat dihitung dari nilai buku perusahaan. Negara memiliki “merek”—yakni citra Negara di luar negeri dan semua penilaian yang menyertainya.

Indonesia dengan citra negeri paling “korup” akan mempengaruhi bisnis dan daya saingnya. Selain kuat, persepsi yang sangat emosional dari sudut pandang daya saing sehingga tidak boleh diabaikan. 

Kita tidak boleh bangga  hanya karena memiliki kekayaan sumber daya alam. Sumber daya yang kaya tak serta merta membuat sebuah Negara memiliki daya saing yang kuat. Negara yang miskin sumberdaya alam seperti Singapura, Swiss, dan Irlandia justru maju dalam  daya saing. Sementara Negara-negara seperti Indonesia, Afrika Selatan, Brazil, India—negara-negara yang sangat kaya dengan sumberdaya alam, tetapi ketinggalan dalam mengembangkan daya saing.  

Daya saing-kemauan untuk lebih unggul dengan usaha-usaha yang kreatif, inovatif dan mensinergikan daya saing individu, organisasi/perusahaan dan negara. Butuh seorang pemimpin yang mampu berfikir jernih, menghargai harkat dan martabat manusia. 
       

Bagi yang mau membaca utuh bukunya, silakan beli di toko buku terdekat. Menjadi orang No 1 di Abad ke 21 (Stephanie Garelli, 2008). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar