Selasa, 30 April 2013

Kurikulum 2013 dan Paradigma Belajar Abad 21

Pemerintah Indonesia akan menerapkan kurikulum baru tahun ini, untuk pendidikan di tingkat SD, SMP, SMA dan SMK, yang kita kenal sebagai kurikulum 2013. Telah muncul pro-kontra di kalangan pendidik dan masyarakat tentang sejumlah aspek dalam penerapan kurikulum 2013. Tulisan ini tidak ingin masuk ke arena pro-kontra tersebut, tetapi ingin menggarisbawahi bahwa perubahan kurikulum pada dasarnya adalah suatu keniscayaan, karena telah terjadinya pergeseran paradigma belajar abad 21.

Perubahan dan pembaruan kurikulum harus dipahami sebagai hal yang biasa, karena kurikulum memang harus selalu bersifat adaptif. Kurikulum harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, tuntutan kebutuhan, serta tantangan, yang selalu berubah sesuai perkembangan zaman. Abad 21 telah menghadirkan berbagai perubahan lingkungan yang mendasar, yang menuntut adaptasi tersebut.

Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sendiri tampak telah menyadari terjadinya pergeseran paradigma belajar pada abad 21. Ada empat aspek ciri abad 21 yang akan diangkat dalam tulisan ini, yaitu aspek informasi, komputasi, otomasi, dan komunikasi. Tiap aspek ini akan menuntut perubahan drastis, dari model pembelajaran lama ke model yang lebih pas dengan tuntutan zaman. Mari kita kupas aspek-aspek tersebut satu-persatu.

Generasi Google

Pertama, aspek informasi. Berbeda dengan era lama, di mana informasi terasa terbatas dan sulit dicari, kini informasi tersedia di mana saja, dan bisa diakses kapan saja. Bahkan banyak siswa SD dan SMP kini sudah terampil menggunakan Internet, serta memanfaatkan aplikasi Google sebagai mesin pencari informasi di dunia maya.

Siswa kini tidak harus bertanya kepada gurunya, untuk sekadar tahu tentang sesuatu. Bahkan, siswa yang rajin menjelajah situs-situs ilmu pengetahuan di dunia maya bukan tidak mungkin lebih tahu tentang perkembangan keilmuan terbaru dibandingkan guru yang malas memanfaatkan media Internet.

Oleh karena itu, model pembelajaran dalam kurikulum 2013 diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber observasi, bukan diberitahu seperti era lama. Guru tidak selalu dianggap paling tahu tentang segalanya. Jadi, siswa didukung untuk aktif mencari informasi sendiri.

Kedua, aspek komputasi. Perkembangan teknologi komputer dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) saat ini telah begitu pesat, sehingga banyak persoalan bisa dijawab secara cepat oleh komputer yang dilengkapi perangkat lunak yang tepat. Jika Anda merasa sakit, misalnya, Anda tidak harus bertemu langsung dengan dokter (manusia), tetapi bisa bertanya-jawab atau berkonsultasi dengan komputer, yang sudah dilengkapi perangkat kecerdasan buatan dalam ilmu kedokteran.

Oleh karena itu, dalam model pembelajaran yang baru, pembelajaran diarahkan agar peserta didik mampu merumuskan masalah (menanya), bukan hanya menyelesaikan masalah (menjawab). Jangan anggap remeh, karena untuk bisa merumuskan masalah dan mengajukan pertanyaan yang tepat, itu juga membutuhkan tingkat pemahaman dan kecerdasan tertentu.

Berpikir Analitis, Bukan Mekanistis

Ketiga, aspek otomasi. Kita tahu bahwa saat ini otomasi sudah menjangkau hampir segala pekerjaan rutin dan mekanistis di dunia industri. Penggunaan robot di pabrik pembuat mobil, misalnya, praktis sudah menggantikan fungsi manusia sebagai tenaga perakit. Untuk hal-hal yang rutin dan mekanistis, robot bahkan bisa bekerja lebih akurat dan cermat daripada manusia.

Dengan melihat konteks demikian, maka dalam kurikulum 2013, pembelajaran diarahkan untuk melatih siswa agar mampu berpikir analitis (pengambilan keputusan), bukan berpikir mekanistis (rutin). Peserta didik selayaknya tidak berpikir seperti robot atau mesin, yang tinggal melaksanakan arahan atau perintah.

Terakhir, aspek komunikasi. Di era lama, komunikasi sering berlangsung searah, seperti orang menonton siaran televisi atau membaca koran. Atau seperti komunikasi antara atasan dan bawahan, di mana si bawahan hanya menerima instruksi dan arahan, tanpa berhak mempertanyakan isi arahan. Si pengirim pesan dan penerima pesan sudah jelas dan tetap.

Tetapi di abad 21, komunikasi bisa berlangsung dari mana saja dan ke mana saja. Media online, misalnya, memudahkan terjadinya interaksi bolak-balik antara pengirim dan penerima pesan (komunikasi tidak cuma searah). Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan blog, memungkinkan setiap warga memiliki media sendiri untuk berkomunikasi dan mengirim pesan ke audiens yang luas, bukan sekadar menerima informasi.

Maka model pembelajaran yang ditawarkan kurikulum 2013 adalah pembelajaran yang menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah. Adalah suatu yang absurd, jika di tengah keterbukaan informasi dan kemudahan berkomunikasi, ada pihak yang tertutup, terkucil atau menutup diri. Dalam dunia yang semakin terbuka dan kompleks, penyelesaian masalah tidak bisa dikerjakan sendiri, tetapi akan jauh lebih mudah jika dilakukan lewat kerjasama dan kolaborasi.

Ada banyak aspek belajar lain yang mungkin telah bergeser dari paradigma lama yang biasa kita kenal. Kurikulum 2013 memang disusun untuk mengantisipasi perkembangan. Masalahnya sekarang, seberapa siapkah sistem pendidikan kita dalam mengadopsi dan menerapkan kurikulum 2013 itu untuk tahun ini.

Kesiapan itu menyangkut sosialisasi kepada para guru, kepala sekolah, praktisi pendidikan, dan para pemangku kepentingan lain. Sosialisasi ini bukan sekadar tahu, tetapi juga mengerti dan menghayatinya. Juga, adanya dukungan tenaga, sumberdaya, perangkat teknis, dana, dan berbagai hal konkret lain. Mengingat arti penting dan strategis dari kurikulum 2013, kita berharap masalah yang menyangkut hal-hal teknis seperti ini dapat segera diatasi.

Menulis di Media Abad ke 21


Oleh: Jannerson Girsang

"Good writing may be the quintessential 21st century skill". Demikian sebuah statemen dalam website National  Council of Teacher of English, Amerika Serikat http://www.ncte.org/press/21stcentwriting

Pernyataan ini tentunya tidak berlebihan. Pasalnya, setiap hari, jutaan tulisan dibutuhkan oleh ratusan ribu bahkan jutaan media  di seluruh dunia.

Menulis di media yang memiliki mediaonline bukan hanya konsumsi  lokal, tetapi global. Beberapa artikel saya dalam bahasa Indonesia telah diterjemahkan dengan menggunakan Google oleh berbagai ragam bangsa di dunia ini.

Bahasa tidak menjadi persoalan sebesar sebelum  terjemahan Google hadir. Dengan bantuan Google, atau alat terjemahan lainnya, seorang penulis dengan kemampuan bahasa lokal yang benar telah dapat berkomunikasi melalui tulisan dan dimengerti pembaca di berbagai negara. 

Meski tentunya tidak sempurna  betul. Seorang Chekoslowakia, mengomentari tulisan saya dalam bahasa Indonesia: “it is understandable,” ujarnya ketika membaca artikel saya, setelah dia menerjemahkannya dengan Bing ke dalam bahasa Cheko. .  

Jangan merasa rendah diri walau hanya menguasai bahasa Indonesia. Artikel-artikel dalam bahasa Indonesia  di abad ke 21 tidak lagi sekedar konsumsi  media lokal, tetapi juga media-media internasional.

Tersedianya fasilitas internet, telah membuka kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan talentanya di berbagai media internasional. Jadi, terbuka peluang menulis dalam bahasa Indonesia diterbitkan di media internasional. 

Kunci suksesnya adalah ide tulisan. Penulis mampu menyajikan peristiwa aktual, dibutuhkan banyak orang di dunia ini, serta memiliki kemampuan menulis. Selain itu tentunya  popularitas atau keyakinan pemilik media atas karya asli seorang penulis.

Bayangkan, dari daftar yang disajikan  http://www.onlinenewspapers.com/, puluhan ribu media cetak yang memiliki mediaonline bisa diakses dari website ini. Penulis memiliki peluang menulis di sana. Asalkan ide tulisan dibutuhkan banyak orang di seluruh dunia.

Penulis yang mampu tentu akan mengisi media dunia. Hitung saja honornya, kalau setiap hari bisa mengisi media-media seperti The New York Times, Asia Wall Street Journal, The Jakarta Post, Kompas, serta media-media lainnya. Percaya atau tidak, buktikan dengan ketekunan, dan tahan uji......!