Oleh: Daniel Lukas Lukito
PENDAHULUAN
Sebentar lagi semua umat manusia yang menetap di planet yang pengap ini
akan memasuki abad dan sekaligus millennium yang baru. Saya katakan
"sebentar lagi" karena pada saat menuliskan artikel ini (Januari
2000) bagi sementara kalangan abad dan millennium yang baru itu seharusnya
dimulai 1 Januari 2001 (misalnya, posisi Harian Umum Kompas). Saya kebetulan
merasakan adanya logika yang sama dengan pendapat tersebut. Alasannya sederhana
saja: Kalender Masehi tidak mengenal tahun yang dimulai dengan angka nol, sehingga
tahun 2000 boleh dikategorikan termasuk dalam himpunan abad 20 dan millennium
kedua.**1 Walaupun demikian semua sudah sama-sama tahu bahwa mayoritas penduduk
globe ini menganggap bahwa sekaranglah abad dan millenium yang baru itu.
Sebetulnya untuk apa sih meributkan persoalan yang sepele dan sudah
hampir basi ini? Saya akui ini boleh dibilang persoalan sepele dan provincial
karena kebanyakan orang toh tidak peduli. Namun demikian kalau boleh saya
memohon sedikit kesabaran pembaca untuk memperhatikan urusan "sepele"
ini lebih jauh sedikit. Pertama, persoalan tersebut mengingatkan bahwa untuk
suatu topik yang sedemikian obvious (mudah dimengerti), nyata dan gamblang,
kebanyakan manusia bisa dengan mudah berbeda pandangan. Tetapi masalahnya bukan
hanya itu saja, karena, kedua, manusia bukan hanya bersedia berbeda opini.
Sebagian besar manusia ternyata bersedia menerima suatu pendapat yang less
logical dan yang benar-benar keliru hanya karena mayoritas masyarakat dunia
yang menyatakannya atau, lebih tepat, secara pelan dan pasti memaksa
menyatakannya demikian. Hampir semua media raksasa di dunia ini menyatakan 1
Januari 2000 sebagai abad dan millennium baru. Jadi, karena media besar dan
pemerintah adidaya sudah menyatakan suatu kesalahan sebagai kebenaran, maka
terciptalah kesalahan "sepele" itu menjadi kebenaran yang sulit
diganggugugat. Kebanyakan orang menjadi tidak peduli hal itu benar atau salah,
karena "semua" orang, bahkan "seluruh" dunia mengatakan
demikian. Orang cerewet mempermasalahkannya justru orang yang dianggap aneh
sendiri.
Dari contoh urusan "sepele" tersebut kalau boleh saya katakan
bahwa semangat dan cara pikir manusia sekarang dalam berteologi sedikit banyak
mirip dengan kecenderungan di atas. Ada kalangan dalam gereja atau dunia kekristenan
yang sepintas tidak peduli apakah suatu pandangan atau aliran teologi itu benar
atau salah asalkan sudah cukup banyak orang yang menerimanya, atau karena yang
menyatakannya adalah tokoh atau teolog yang beken. Apalagi jikalau mayoritas
pengikut sudah mengafirmasikan demikian persis seperti beberapa ratus nabi
(palsu) Baal secara aklamasi sepakat tentang sesuatu yang katanya dari Tuhan
padahal bukan. Hanya nabi Mikha seorang diri (sebagai minoritas absolut!) yang
berani menyatakan kebenaran dan berbeda dengan posisi yang lain (lih. 1Raj
22:1-38). Bagi sebagian orang lain, urusan benar atau salah seakan-akan menjadi
kurang penting asalkan apa yang diajarkan itu "cocok bagi saya" dan
sekaligus berkhasiat (misalnya, bisa mendatangkan berkat, kekayaan, kesehatan,
kesembuhan, kelancaran, kedamaian, gereja bertumbuh pesat, pengikut membludak
dan seterusnya). Orang yang menyampaikan ajaran yang benar dan berbeda dengan
mayoritas akan dianggap sebagai orang yang aneh dan perlu dijauhi.
Persoalan yang dikemukakan di atas hanyalah sebuah contoh untuk
mengantar pembaca memasuki tema tulisan ini. Di dalam artikel ini pembaca akan
melihat berbagai kecenderungan dalam alam pemikiran dunia teologi pada
tahun-tahun mendatang. Apa yang saya paparkan sebagian besar didasarkan apa
yang pernah terjadi dalam dunia teologi di tahun-tahun yang lampau**2 dan
merupakan prakiraan tentatif yang perlu diuji apakah tepat demikian. Hal ini
berarti penulis tidak sedang membuat sebuah nubuat atau sebaliknya menciptakan
dugaan yang mengada-ada. Istilah "Abad 21" pada judul artikel ini
juga penulis rasakan terlalu bernada hiperbolis, karena siapa yang dapat
memastikan apa yang terjadi 10, 20 atau 50 tahun mendatang berhubung perubahan
sekarang selalu terjadi dengan begitu cepat. Sebab itu lebih tepat bila pembaca
mengartikan "Abad 21" sebagai masa permulaan dunia memasuki suatu
rentang yang baru sekali, yaitu abad 21, dan tidak mengartikannya sebagai masa
sampai 100 tahun.
KECENDERUNGAN PERTAMA: TEOLOGI AKAN SECARA RADIKAL DIBANGUN DI ATAS
LANDASAN IMMANENSI
Yang dimaksud dengan "immanensi" (Latin: immanere, to remain
in) adalah kecenderungan manusia untuk menyimpulkan segala sesuatu dengan
bertitik tolak semata-mata dari alam dan natur manusia. Dengan semakin
bangkitnya ekonomi globlal, maraknya kemajuan teknologi dan sains serta semakin
mantapnya segala kemajuan yang berasal dari, oleh dan untuk manusia, apa yang
semakin terlihat dalam kehidupan sehari-hari adalah memudarnya sisi yang
transenden dalam berteologi dan semakin bercahayanya sisi yang immanen, yakni
alam dan manusia. Walaupun manusia masih berbicara tentang Allah dan
karya-karya-Nya, sedemikian rupa sehingga Ia dibicarakan dengan titik tolak
dari perspektif manusia dan alam. Topik pengetahuan tentang Allah menjadi
terserap ke dalam topik yang mengacu pada manusia dan persoalan di
sekitarnya.**3
Pendekatan teologis seperti ini akan lebih mengidentifikasikan
kehadiran Allah secara absolut di dalam dunia, seolah-olah Allah tidak pernah
terpisah jauh melampaui dunia sebagai Pribadi yang transenden seperti yang
diajarkan Alkitab.**4 Keberadaan Allah sepertinya menyerap atau berbaur di
dalam seluruh alam, peristiwa dan kehidupan manusia. Apa akibat dari pemikiran
yang berat sebelah ini? Akibatnya, manusia mulai meragukan, meninggalkan dan
sekaligus menolak segala sesuatu yang berbau supranatural, mujizat, ajaran
tentang wahyu dan penebusan ilahi yang ajaib. Mengapa? Salah satu alasan yang
utama adalah karena batas pemisah antara wilayah yang natural dan wilayah yang
supranatural telah dihapuskan secara perlahan-lahan, atau lebih tepat dikatakan
bahwa wilayah yang natural telah "mencaplok" atau telah
"membaptis" wilayah supranatural. Hasilnya, wilayah yang
supranatural-sekalipun masih ada dan masih disebut-sebut dalam diskusi teologi
atau dunia kekristenan telah mendapatkan arti yang baru, yaitu mendapatkan
muatan interpretasi yang berbeda yang diinfuskan ke dalamnya. Keberadaan Allah
yang personal dan hidup seperti yang disaksikan dalam Alkitab digantikan dengan
ungkapan-ungkapan tentang Allah dalam rumusan-rumusan pengetahuan yang
diciptakan manusia dan dalam keindahan moral yang dibangun menurut standar
manusia.
Apabila kecenderungan ini berlangsung terus-menerus dan semakin
menguat, dunia teologi akan memasuki suatu suasana di mana manusia sadar atau
tidak sadar semakin kehilangan sisi transendensi, yaitu konsep tentang adanya
Allah yang berada di luar, di atas dan melampaui keberadaan manusia. Hal ini
seharusnya tidak boleh terjadi jikalau kita hendak membangun teologi Kristen
yang sehat dan bertanggung jawab. Teologi yang sehat dan bertanggung jawab itu
semestinya seimbang dalam menekankan konsep transendensi dan konsep immanensi.
Tidak boleh berat sebelah, apalagi saling meniadakan. Bila teologi kehilangan
sisi berat sebelah, teologi bukan hanya "bergerilya" dan kemudian
tersesat, tetapi teologi juga akan kehilangan relevansi dan konteks. Kehilangan
relevansi, maksudnya ia (teologi) masih dibicarakan bahkan dirumuskan di
sana-sini tetapi ia sama sekali terpisah dan tidak mengacu lagi pada realita
tentang Allah yang hidup itu seperti yang diberitakan dalam Alkitab. Kehilangan
konteks, maksudnya, sekalipun ia justru semakin mengena dalam lingkup persoalan
manusia, tetapi teologi menjadi semakin jauh dari garis besar haluan kerajaan
Allah dan kebenaran firman Allah.
KECENDERUNGAN KEDUA: TEOLOGI AKAN DIWARNAI OLEH SEMANGAT YANG SEMAKIN
KUAT UNTUK MENSINTESISKAN LINGKUP SAKRAL DAN LINGKUP SEKULAR
Hampir sama dengan kecenderungan pertama, pada butir ini manusia secara
eksplisit melihat realita hanya pada satu lapisan saja yakni dunia ini saja.
Jikalau pada Karl Barth orang masih melihat adanya perbandingan
Creator-creature, eternity-time, atau infinite quality-finite quality dengan
penekanan yang kuat pada aspek transendensi, maka yang mencuat pada
kecenderungan ini adalah sebaliknya, yaitu penekanan hanya pada aspek creature,
time, finite quality. Apa arti semua ini? Artinya sama saja dengan menolak
segala sesuatu yang berciri ilahi dan hukum moralitas yang teosentris. Prinsip
uniformitas ini mengakibatkan manusia mengesampingkan segala yang unik dan
normatif dalam kekristenan sekalipun semua fakta telah tercatat dalam sejarah
dan peristiwa yang nyata dialami manusia.
Sebagai konsekuensinya, manusia akan memasuki suatu suasana dengan
paradigma atau model yang sama sekali baru dalam pendekatan teologi, yaitu
manusia betul-betul menampakkan ciri yang otonom dan terlepas dari otoritas
manapun.**5 Dari satu sudut dapat dikatakan paradigma ini sudah dimulai oleh
J.A.T. Robinson**6 atau Harvey Cox**7 dan "keponakan-keponakan "-nya
dalam death-of-God theology movement(seperti misalnya Gabriel Vahanian,Thomas
Altizer,Paul van Buren,William Hamilton). Mereka berpegang pada sejenis prinsip
naturalisme radikal yang terang-terangan menegaskan bahwa segala sesuatu
(termasuk teologi atau iman Kristen) harus berselaraskan dengan gejala alam dan
dengan demikian terbatas dalam lingkup alam. Bukan hanya itu saja. Mereka
merasa mendapatkan "darah segar" atau dukungan bagi posisi otonom
tersebut dari tulisan Dietrich Bonhoeffer.**8 Padahal yang terjadi adalah
mereka salah menafsirkan dan bahkan mendistorsikan**9 maksud dari Bonhoeffer,
karena ia memang tidak bermaksud mengajukan dirinya sebagai perintis atau
perancang teologi Allah mati, apalagi supaya manusia menjadi otonom dan
menggantikan Allah.**10
Semangat untuk mensistesiskan lingkup sakral dan sekuler ini sedikit
berbeda dengan semangat sekularisme. Bila sekularisme merupakan semangat
manusia yang membatasi segala realita dari dan pada dunia ini serta dalam prosesnya
cenderung menyangkali adanya realita yang transenden diluar dunia ini,**11 maka
semangat sintesis di atas mengakui adanya realita yang transenden tersebut
tetapi realita itu dileburkan ke dalam lingkup yang sekuler. Bila dalam
semangat sekularisme segala unsur otoritas keagamaan hanya berusaha direduksi
atau "dikavling" eksistensinya, maka semangat sintesis di atas akan
"memakan habis" untuk otoritas keagamaan tersebut sehingga
eksistensinya seolah-olah tidak ada lagi. Sintesis seperti ini dikata hasilnya
akan lebih parah dari pada semangat lainya seperti pragmatisme,induvidualisme,
atau pun humanisme.**12
Sebenarnya baik lingkup sakral maupun lingkup sekuler perlu dimengerti
secara benar dan seimbang. Lingkup sekuler jangan dijauhi atau di-anathema-kan
oleh orang percaya karena lingkup itu pada mulanya adalah dunia ciptaan Allah
seberapa pun bobrok keadaannya pada saat ini. Allah yang berada pada lingkup
sakral perlu dihadirkan dalam dunia ini dalam batas tertentu melalui kesaksian
iman orang percaya. Tetapi dalam hal ini tidak berarti kedua lingkup tersebut
dapat secara mudah disatukan secara integral sehingga tidak ada lagi ketegangan
antara keduanya. Ketegangan antara keduanya tetap akan ada selama orang percaya
menyaksikan keberadaan dan keselamatan Allah dalam dunia. Mengapa? Karena dunia
akan selalu berada dan dipengaruhi oleh sistem yang bertentangan dengan Allah;
sedangkan orang percaya harus selalu memproklamirkan keberadaan Allah yang
ditentang oleh dunia.
Barangkali untuk memahami hal ini perlu dipinjam pola penyelesaian yang
pernah diusulkan oleh H.Richard Niebuhr. Melalui pemaparannya tentang
Kristus/Injil dan kebudayaan, Niebuhr seakan-akan hendak mengatakan bahwa
seseorang tidak boleh mengkutubkan atau mendikotomikan kedua lingkup tersebut.
Artinya, jangan mengambil salah satu lingkup dan memusuhi yang lain. Kedua
lingkup tersebut harus dipahami dan diterima dalam satu hubungan yang
paradoks.**13 Maksudnya, sekalipun antara keduanya kelihatan seakan
berkontradiksi, orang Kristen harus mengupayakan suatu sikap penerimaan
terhadap orang Kristen harus mengupayakan suatu sikap penerimaan terhadap
dunia/kebudayaan melalui cara yang akomodatif, korelatif dan relevan. Tetapi,
sekalipun upaya penerimaan itu sudah dilakukan, tidak berarti ketegangan antara
lingkup spiritual/sakral dan lingkup temporal/sekural akan lenyap seketika.
Ketegangan tersebut akan berlanjut terus dalam suatu suasana yang ambigu, yaitu
suasana yang paradoks di mana orang percaya mau tidak mau harus hidup dengan
seimbang antara mengabdi kepada Kristus (yang mewakili lingkup sakral) dan
menjadi garam bagi dunia (lingkup sekuler). Hanya dengan cara demikian orang
Kristen dapat mengadakan transformasi yang kreatif dalam dunia sekaligus
mengadakan introspeksi terhadap pendirian teologinya.
KECENDERUNGAN KETIGA: TEOLOGI AKAN MELANJUTKAN SUBJEKTIVISME
EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah usaha untuk membangun sistem filsafat yang
berangkat dari titik tolak manusia sebagai pembuat dan penentu atas pemikiran
dan segala sesuatu yang beredar dalam lingkaran kehidupan ini. Pemeluk
eksistensialisme percaya bahwa manusia memiliki kapasitas eksistensi yang
potensial dalam kehidupannya. Melalui karya tulis berupa pemikiran filsafat,
novel dan drama, pra eksistensialis menjabarkan, menjelaskan dan menganalisis
eksistensi manusia dengan amat realitis. Mereka membedah kenyataan hidup ini
yang penuh dengan problema melalui satu penegasan yang berani, yaitu bahwa
manusia adalah pencipta dan penyembuh bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu
manusia modern yang hidup dalam dunia sekular harus berani berhadapan dan
mengatasi ketakutan terhadap diri sendiri, orang lain, maupun ketakutan
terhadap kematian. Selain itu manusia juga didorong untuk berani menghadapi
setiap jenis keterbatasan, perasaan bersalah, kekuatiran, yang kesemuanya itu
hanyalah merupakan bentuk dari inauthentic existence. Sebagai hasilnya, para
eksistensialis umumnya menolak keberadaan Allah dan ciptaan-Nya dan menolak
Alkitab sebagai firman Allah.**14
Sepanjang berlangsungnya teologi di abad 20, eksistensialisme telah
memiliki pengaruh yang kuat pada teolog bersar seperti Barth, Tillich dan
Bultmann. Apabila kita melihat teologi neo-ortodoks yang sedemikian kuat pada
ketiga tokoh tersebut dan kelihatannya teologi itu akan terus kuat pada ketiga
tokoh tersebut dan kelihatannya teologi itu akan terus berlanjut di abad 21, maka
tidak berlebihan bila dikatakan bahwa eksistensialisme yang menjadi fondasi
teologi tersebut juga akan terus berlanjut. Barthianisme, misalnya, yang
menekankan dengan optimal konsep wahyu yang dialektis persis seperti yang
pernah dicetuskan oleh pelopornya, Soren Abby Kierkegaard (1813-1855),**15 akan
terus berlanjut seturut dengan semakin disukainya eksistensialisme model
Kierkegaard.
Dikatakan "disukai" karena Kierkegaard menampilkan suatu
bentuk eksistensialisme yang tidak ateistis tetapi juga tidak ortodoks. Tidak
ateistis, maksudnya, tidak seperti pendirian para eksistensialis yang
belakangan (misalnya, Sartre atau Heidegger) yang menolak ide tentang adanya
Allah Pencipta yang hidup, Kierkegaard sebaliknya menegaskan eksistensi Allah
yang berinkarnasi dalam Kristus Yesus. Tidak ortodoks, maksudnya, tidak seperti
pendirian teologi ortodoks yang menekankan keseimbangan pengertian antara Allah
yang transenden dan imanen, Kiekegaard secara radikal hanya menekankan
ketransendenan Allah. Menurut Kierkegaard, Allah sama sekali jauh dan berbeda
dengan yang lain khususnya manusia (the wholly other God). Ia tersembunyi dari
kemampuan rasio manusia untuk mengerti. Mengapa demikian? Karena menurutnya
yang namanya kebenaran akan selalu bersifat impersonal dan tidak dapat
dijangkau oleh pikiran yang terbatas.**16 Artinya, kebenaran tidak bersifat
objektif (yaitu, terbuka dan mudah diselidiki karena fenomenanya dapat
terobservasi oleh banyak pihak), melainkan subjektif (yakni, tersembunyi dan
berlangsung di dalam pikiran individu yang bersifat personal). Jadi, kebenaran
tentang Allah pun bersifat subjektif dan personal, yakni dimulai dalam situasi
tertentu pada kehidupan seseorang.
Apa akibat yang riil dari pandangan seperti di atas? Bagi saya, posisi
Kierkegaard tersebut tidak lain merupakan benih munculnya posisi teologi
pascamodern pada permulaan 1960.**17 Seperti halnya Kierkegaard, inti dari
posisi pemikiran para teolog yang terbawa pada arus pascamodernisme adalah pada
umumnya mereka menolak adanya suatu klaim atau prinsip kebenaran yang universal
sifatnya.**18 Apabila pada zaman Pencerahan (Enlightenment) orang menyerang dan
menolak kekristenan karena dianggap berseberangan dengan penemuan-penemuan baru
di bidang sains (misalnya, teori Copernicus), maka pada periode pascamodern
orang menyerang dan menolak keristenan hanya karena klaim kebenaran objektif
yang ada di dalamnya.**19 Dengan perkataan lain, manusia pascamodern tidak suka
pada prinsip kebenaran yang universal dan objektif sifatnya. Mengapa demikian?
Jawabnya, adalah karena, seperti Kierkegaard, pendirian teolog pascamodern
adalah: truth is subjectivity. Penekanan kebenaran yang universal dan objektif
menurut mereka bukan hanya tidak masuk di akal tetapi juga berbahaya bagi
perkembangan teologi. Pendirian seperti ini memperlihatkan bahwa teolog
pascamodernisme bahkan lebih eksistensialis dari eksistensialisme yang
dipelopori oleh Kierkegaard. Dengan demikian semangat eksistensialisme dan
pascamodernisme adalah semangat "saudara sekandung" manusia zaman sekarang
yang cenderung menolak kebenaran yang objektif.
KECENDERUNGAN KEEMPAT: TEOLOGI AKAN SEMAKIN GENCAR MENGADAPTASI
PLURALISME
Dalam suasana dunia yang serba semakin menyatu dewasa ini fakta tentang
pluralitas kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang baru. Menurut Leslie
Newbigin langkah awal untuk memahami keadaan ini adalah dengan terlebih
mengakui adanya pluralitas itu sendiri.
It has become a commonplace
to say that we live in a pluralist society not merely a society which is in
fact plural in the variety of cultures, religions and lifestyles which it
embraces, but pluralist in the sense that this plurality is celebrate as things
to be approved and cherished.**20
Demikian pula ketika gereja dalam perjalanan sejarahnya harus
berhadapan dengan masyarakat yang pluralis dimana-mana, mau tak mau realita
pluralitas iman sebagai sebuah fakta kehidupan harus diakui dan diterima.
Sebagai contoh, ketika umat Kristen mula-mula melakukan pekabaran Injil, mereka
melakukannya di tengah dunia pluralis dengan lingkaran konteks masyarakat
Yudaisme, Hellenisme, paganisme Romawi,**21 bahkan sampai melebar ke daerah
sebelah tenggara India dengan didirikannya gereja Mar Thoma. Data ini memberi
indikasi bahwa gereja mula-mula telah menyadari dan mereka benar-benar berhadapan
dengan pluralitas budaya dan pluralitas keyakinan yang ada pada waktu itu.
Namun demikian dalam konteks pembahasan subtopik ini, istilah
"pluralisme" mengandung pengertian yang lebih mendalam bagi
masyarakat dunia sekarang. Pluralisme bukan hanya diartikan sekedar menjamurnya
kepelbagaian iman, suku, ras dan nilai-nilai yang berbeda yang harus diakui
keberagamannya; pluralisme ternyata telah memiliki muatan filsafatis di mana
masyarakat dunia didorong (atau lebih tepat terdorong) untuk meninggikan nilai
toleransi dengan mengakui bahwa masing-masing keyakinan yang berbeda-beda
mempunyai nilai kebenaran tersendiri. Akibatnya, tidak boleh ada satu keyakinan
iman yang dapat mengklaim adanya kebenaran yang absolut di tengah kepelbagaian
tersebut.**22
Pendekatan radikal seperti di atas sebenarnya telah ada dalam
pembicaraan teologi abad 19 atau awal abad 20. Sebagai contoh, Ernst
Troeltsch**23 yang hidup di Jerman antara 1865-1923 adalah seorang teolog yang
boleh dikata sangat memberi inspirasi bagi perkembangan teologi kekinian yang
berbicara tentang pluralisme. Melalui tulisannya ia mengembangkan intisari
konsep mengenai teologi ke dalam beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan
kritisisme, yaitu keyakinan bahwa pertimbangan atau keputusan pada waktu seseorang
memikirkan tentang sejarah masa lalu ia harus melakukannya dengan pendekatan
benar atau salah. Maksudnya, tidak ada penelitian sejarah yang dapat menetapkan
segala sesuatu melampaui garis yang disebut garis probabilitas. Yang dapat
terjadi secara maksimal adalah suatu probabilitas yang lebih besar atau yang
lebih kecil, tetapi itu adalah tetap probabilitas bukan keabsokutisan.
Penelitian sejarah itu sendiri harus selalu terbuka untuk mengalami kritik demi
kritik, serta perubahan demi perubahan. Dengan demikian, setiap penelitian dan
interpretasi sejarah tidak akan pernah mencapai titik persetujuan yang
universal. Demikian pula semua kesimpulan yang pernah dibuat dalam penelitian
sejarah atau yang akan dibuat, adalah bersifat tentatif atau sementara dan
harus terbuka untuk mengalami revisi di bawah penelitian-penelitian atau
bukti-bukti baru.
Kedua, pendekatan analogi, yaitu pendekatan-pendekatan yang berdasarkan
pada keyakinan akan garis probabilitas di atas di mana ia melihat bahwa
pengalaman yang dialami sekarang inipun secara radikal tidak berbeda dari
pengalaman orang-orang di masa lampau. Alasannya, sejarah keagamaan yang ada di
mana-mana selalu berada pada satu garis lurus yang sama. Sebagai akibatnya,
semua doktrin atau ajaran yang paling esensial dalam kekristenan pun pasti
memiliki padanan atau analoginya di dalam agama-agama lain, artinya vis-a-vis
berbanding lurus, berelasi dengan agama lain.
Ketiga, pendekatan korelasi, yaitu keyakinan Troeltsch bahwa fenomena
dari kehidupan sejarah manusia dapat dikatakan memiliki relasi dan
interdependensi satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada perubahan radikal
yang berlangsung pada titik sejarah tanpa memberikan efek perubahan pada
sejarah manusia di sekitarnya. Dengan demikian, dalam rangka menjelaskan
tentang sejarah (termasuk sejarah iman atau keagamaan),seseorang juga harus
menjelaskan tentang sejarah yang berlangsung sebelum dan sesudahnya beserta
dengan segala terisolasi dari ruang dan waktu yang terkondisi oleh sejarah di
sekitarnya.
Keempat, pendekatan universalisme, yaitu pendekatan yang menekankan
kasih kepada sesama manusia selain kasih kepada Allah. Kasih kepada manusia
adalah esensial karena hal itu adalah suatu pemikiran yang mengandung unsur
revolusioner dan bersifat murni keagamaan. Yang dimaksud dengan revolusioner
adalah bahwa kasih kepada manusia akan secara universal merembes ke dalam
masyarakat serta mempengaruhi kehidupan komunitas manusia,kebudayaan,bahkan
keluarga, yaitu unit terkecil di populasi. Karena konsep universal yang satu
inilah, kekristenan menjadi satu agama yang berbeda dan tidak terlampaui oleh
misalnya Stoisisme dalam dasar pemikirannya, pendekatannya serta hasil yang
dicapainya. Walaupun demikian kekristenan harus mengakui adanya kemungkinan
timbulnya kasih yang universal itu di antara keyakinan iman yang lain.
Kelima, pendekatan akomodasi,yaitu upaya adaptasi dan kompromi yang
dilakukan oleh gereja sepanjang sejarah mula-mula sampai hari ini. Tipologi
gereja (church type) yang dimaksud adalah satu jenis adaptasi yang selalu
dilakukan oleh gereja dalam rangka menyesuaikan keberadaan dan misinya di dalam
dunia. Menurut Troektsch, tipologi gereja yang melakukan akomodasi
terindentifikasikan pada ajaran dan misiologi dari rasul Paulus. Gereja dalam
tipologi ini walaupun berada pada posisi konservatif dalam hal etika sosial,
namun demikian gereja yang diwakili mulai dari rasul Paulus ini senantiasa
menerima atau merangkul sebanyak mungkin strata-strata sosial yang sekuler.
Menurutnya, Gereja Roma Katolik adalah contoh dari tipologi ini, yaitu gereja
yang selalu konsisten dalam melakukan akomodasi. Sedangkan Gereja Protestan
gagal mengembangkan pola akomodasi yang sama.**24
Dalam konteks pemikiran Troeltsch demikian, semangat yang mewarnai
teologi di masa mendatang agaknya masih sedikit banyak tertumpu pada dasat
tersebut. Misalnya, ketika teologi Kristen menghadirkan ajaran tentang
finalitas atau inkarnasi Kristus dalam lingkup kristologi, cukup banyak teolog
di masa kini baik yang modern atau pascamodern yang mempermasalahkannya.
Sebagai contoh, menurut Wilfred Cantwell Smith, seorang teolog terkemuka dari
Harvard, ajaran mengenai finalitas Kristus hanya dianggap benar bagi orang yang
menerimanya secara pribadi.**25 Benar bagi anda, tetapi tentu tidak demikian
bagi saya. Maka bagi Smith hanya melalui pendekatan subjektif inilah, yaitu
mengakui adanya analogi iman di antara agama-agama, kekristenan dapat menjadi
relevan dan beradaptasi dengan keyakinan iman lainnya tanpa harus menegaskan
unsur yang sifatnya absolut yang akhirnya hanya melahirkan konflik.
Teolog lain yang berpendirian sama seperti di atas adalah John Hick.
Selain menolah klaim yang eksklusif berkenaan dengan finalitas Kristus, Hick
mengajukan sebuah bentuk pemahaman yang baru yang diyakininya mengena bagi
semua agama, yaitu bahwa manusia harus menerima konsep adanya "The Eternal
One" atau "The Real" yang tidak lain adalah "Allah" sebagai
pusat dari semua kesadaran beragama. Dengan membentuk dan mengakui tataran baru
tersebut, semua agama--yang walaupun berbeda pada segi gambaran dan pengenalan
ilahinya--harus melakukan refleksi dan mengacu pada "The Eternal
One."**26 Dari sini semakin jelas terjadi pergeseran paradigma dari
kristosentrisme kepada teosentrisme, dari pembicaraan yang berpusat pada
Kristus kepada "Allah" dari semua agama.**27
Pendekatan model ini yang disukai oleh tokoh pluralisme lain yang
bernama Paul Knitter, seorang teolog dari kalangan Katolik Roma. Menurutnya,
kepercayaan akan finalitas dan normativitas Kristus yang merupakan pemberitaan
esensial orang Kristen harus ditinggalkan.**28 Alasannya, orang yang berpegang
pada keyakinan pluralisme hanya dapat bertumpu pada "a theo-centric theology
of religions, based on a theocentric, nonnormative reinterpretation of the
uniqueness of Jesus Christ."**29 Dengan perkataan lain pendirian eksklusif
yang seringkali dijumpai ada pada kalangan injili harus ditinggalkan, karena
"new perception of religious is pushing our cultural consciousness toward
the simple but profound insight that there is no one and only way."**30
Di kalangan kaum pluralis ada satu keyakinan bahwa Yesus Kristus
sendiri tidak pernah memberikan penegasan mengenai keunikan dan finalitas tentang
diri-Nya; Ia tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai Allah. Yang
membesar-besarkan ajaran tersebut sebenarnya hanyalah para rasul yang
mengkotbahkan suatu jenis kristologi yang Yesus sendiri tidak pernah ajarkan.
Apa yang justru dapat dipelajari dari Yesus adalah Ia membawakan suatu injil
bukan tentang diri-Nya, melainkan tentang Allah Bapa yang mengasihi semua
manusia. Jadi, tekanannya adalah pada suatu paradigma Kristen yang teosentris
bukan kristosentris.**31 Posisi yang demikianlah yang dengan bangga disebut
oleh John Hick sebagai sebuah "Revolusi Copernicus" dalam kristologi,
yaitu suatu pergeseran yang drastis dan berani dari pandangan Kristen
tradisional yang terfokus pada Kristus memasuki suatu jenis perspektif yang
berpusat pada Allah. Alhasil, kekristenan yang tadinya ada di tengah lingkaran
sebagai pusat dan agama lain mengintari lingkaran, sekarang telah digeser
menjadi: kekristenan bersama-sama agama lain mengintari lingkaran di mana yang
berperan sebagai pusat adalah Allah.**32
Dengan posisi pandangan seperti di atas, dapatkah teologi yang dibangun
oleh para tokoh pluralisme tetap dianggap sebagai teologi yang selaras dengan
dasar iman Kristen? Jawabnya adalah jelas tidak. Menurut Alister E. McGrat,
Pluralism...possesses a
certain tendency to self-destruction ... Pluralism is fatally vulnerable to the
charge that it reaches an accommodation between Christianity and other
religions traditions by wilfully discarding every distinctive Christian
doctrine traditionally regarded as identity-giving and identity-preserving...
The "Christianity" that is declared to be homogeneous with all other
"higher religions" would not be recognizable as such to most of its
adherents. It would be a theologically, Christologically and soteriologically
reduced version of the real thing.**33
Dengan perkataan lain, tindakan melakukan akomodasi dan reduksi
terhadap iman Kristen demi untuk dialog dan toleransi terhadap agama lain telah
menyebabkan kaum pluralis menjual murah dasar iman Kristen serta sekaligus membentuk
sejenis teologi yang asing bagi orang Kristen sendiri. Apakah ini harga yang
harus dibayar untuk yang namanya "keterbukaan" dan
"relevansi" iman? Rasanya terlalu "dilelang" murah nilai
iman Kristen itu sendiri.
PENUTUP
Di dalam artikel ini penulis telah mencoba memberikan sedikit gambaran
peta pengaruh teologi di masa lampau (segi retrospektif) serta kemungkinan arah
bergeraknya kecenderungan perkembangan teologi di masa mendatang (segi
prospektif). Apa yang telah dipaparkan tersebut dapat terjadi seluruhnya atau
barangkali hanya sebagian saja. Tetapi sebagai seorang pengamat teologi dan
pengajar, penulis melihat suatu kenyataan saat ini yang belum tentu terlalu
enak untuk dikatakan di sini: Gereja sepertinya belum siap menghadapi laju
perkembangan dunia yang semakin jauh dari kehendak Tuhan dan firman-Nya.
Sebagian orang Kristen justru terlihat terlalu sibuk dengan urusan sekular,
bahkan larut dan menjadi serupa dengan dunia ini yang telah memiliki pola
berpikir yang jauh berbeda dengan pola berpikir kerajaan Allah. Sebagian lagi
larut di dalam pesta pentas kehidupan rohani yang seolah terpisah dari dunia
dan sekaligus tidak ada waktu lagi untuk memandang keluar untuk membedakan dan
menguji mana "Roh kebenaran" dan mana "roh yang menyesatkan"
yang ada dalam dunia ini (1Yoh 4:6).
Akibatnya, orang Kristen awam akan terbawa dalam arus dan gelombang
sekular tersebut dan mulai meragukan posisi teologi ortodoks yang telah
berlangsung selama berabad-abad. Tetapi hal ini tidak boleh berlangsung terus
menerus. Kita harus menutup abad 20 ini tidak seperti ketika teologi
liberalisme memulainya, yaitu mengisi tahun-tahun kehidupan gereja dengan
kegelapan karena tidak ada firman Tuhan di sana. Maka yang terpenting sekarang
adalah gereja dan orang Kristen harus sungguh-sungguh menjelang millenium yang
baru berusaha mengerti kecenderungan yang berkembang pada zaman ini, menyadari
arah berubahnya teologi dan menyiapkan cara-cara untuk menghadapinya agar iman
Kristen yang unik itu tetap dapat disampaikan secara efektif dan produktif bagi
zaman ini.
Sumber: Jurnal Teologi dan Pelayanan "Veritas" I No. 1 (April
2000) 3 - 17, 115 – 121. Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT). http://reformed.sabda.org/kecenderungan_perkembangan_pemikiran_abad_21_sebuah_kajian_retrospektif_dan_prospektif.
Catatan Kaki :
**1. Abad ialah masa seratus tahun, yaitu dari tahun satu hingga
seratus, sehingga abad pertama mulai pada hari pertama tahun 1 sampai ke hari
terahir tahun 100. Abad 20 Masehi berarti dimulai pada 1 Januari 1901 dan akan
berakhir pada 31 dan akan berakhir pada 31 Desember 2000. Dengan demikian awal
abad 21 baru mulai pada 1 Januari 2001 dan tidak pada tahun 2000. Hal ini juga
berarti masa tahun 1 hingga tahun 1000 adalah masa satu millenium atau
millennium pertama, dan tahun 1001 hingga 2000 adalah masa satu millenium atau
millenium kedua, dan tahun 2001 hingga tahun 3000 nanti (kalau ada yang masih
bisa hidup sampai waktu itu) adalah juga masa satu millennium atau millenium
ketiga.
**2. Bdk. apa yang pernah terjadi dalam perkembangan pemikiran
teknologi karya: H. Berkhot, Two Hundred Years of Theology: Report of a
Personal Journey (Grand Rapids: Eerdmans, 1989), G.C. Berkouwer, A Half Century
of Theology: Movements and Motives (Grand Rapids: Eerdmans, 1979).
**3. Itulah sebabnya dari satu sisi C.S. Song tidak dapat terlalu
disalahkan ketika ia mengumandangkan bahasa "Theo-logy must be
anthro-pology" (Tell Us Our Names: Story Theology from an Asian
Perspective [Maryknoll: Orbis, 1984] 37). Tetapi persoalannya: Dapatkah teologi
secara radikal dikonversikan menjadi anthropologi?
**4. Alkitab justru secara seimbang mengajarkan keberadaan Allah yang
transenden (mis. 1Raj 8:23; Yes 6:1; Pkh 5:2) tetapi juga yang sekaligus
immanen (1Raj 8:11; Kis 17:27-28).
**5. Bdk. Klaas Runia, "The Challenge of the Modern World to the
Chruch," Evangelical Review of Theology 18/4 (October 1994) 304-305.
**6. Melalui karyanya yang terkenal Honest to God (Philadelphia:
Westminster, 1963).
**7. Bukunya yang terkenal The Secular City (New York: Macmillan,
1965).
**8. Dalam karyanya Letters and Papers from Prison (London: Collins,
Fontana Books, 1953), Bonhoeffer memang menuliskan bahwa dunia dan manusia akan
memasuki zaman yang baru di mana manusia akan mendapatkan suatu bentuk
kekristenan yang lepas dari "cengkraman" sekat keagamaan
(religionless Christianity). Bukan itu saja, dunia juga akan memasuki masa
absennya Allah (the world without God). Kebanyakan teolog merasakan adanya hal
yang belum jelas tentang apa yang dimaksudkan oleh Bonhoeffer. Paling banter
yang dapat dikatakan adalah bahwa ia hanya menyediakan terminologi yang rupanya
amat digemari oleh teolog ekstrim waktu itu.
**9. Dalam bahasa Carl F.H. Henry, Bonhoeffer tidak pernah memaksudkan
tulisannya sebagai suatu "prolegomenon to religious positivism
("Where is Modern Theology Going?," Bulletin of the Evangelical
Theological Society 11/1 [Winter 1968] 4; bdk. Georg Huntemann, The Other
Bonhoeffer: An Evangelical Reasessment of Dietrich Bonhoeffer [Grand Rapids: Baker,
1993] 161).
**10. Majalah TIME edisi Januari 1998 dalam rubrik Science melaporkan
berita tentang seorang ahli fisika yang eksentrik, Richard Seed, yang berniat
membuka sebuah klinik khusus untuk meng-clone atau menggandakan manusia di
Chicago, Amerika Serikat. Ia berkata: "God made man in his own
image....God intended for man to become one with God. Cloning...is the first
serious step in becoming one with God" (h. 32). Semangat otonom seperti
ini lambat laun juga akan terus merambah dunia teologi.
**11. Lih. pandangan Wolfhart Pannenberg, "How to Think About
Secularism," First Things 64 (June-July 1996) 27-32.
**12. Misalnya, seburuk-buruknya humanisme sekular yang dianut oleh
Julian Huxley, ia masih kadang-kadang mengakui bahwa posisinya adalah agnostik
tentang keberadaan Allah, yang artinya dia tidak tahu ada tidaknya Allah. Ia
mengaku bahwa dibutuhkan sejenis "iman" untuk membangun kepercayaan
tentang Allah yang baginya tidak mungkin dijangkau manusia (Religion Without
Revalition [New York: Mentor 1957] 16, 18). Masalah yang utama bagi Huxley
adalah ia tidak mau percaya dan sekaligus bersikap agnostik yang sama saja
dengan menyangkali kemampuan dirinya atau orang lain untuk mengetahui
keberadaan Allah itu (h. 19).
**13. Christ and Culture (New York: Happer Torchbooks, 1951) 149 dst.
Pada subjudul aslinya Niebuhr memberi tema "Christ and Culture in
Paradox."
**14. Lih. F. H. Klooster, "Revelation and Scripture in
existentialist Theology" dalam Challenges to Inerrancy: A Theological
Response (ed. G. R. Lewis & B. Demarest; Chicago; Moody, 1984) 178-179.
**15. Walaupun terdapat tokoh eksistensialis lain yang cukup terkenal
(seperti Martin Heidegger, Friedrich Nietzche, Fedor Dostoevsky, Karl Jaspers,
Albert Camus dan Jean Paul Sartre), Kierkegraad tetap masih dianggap sebagai
perintis di abad 19.
**16. Colin brown, Philosophy and the Christian Faith (London: Tyndale,
1968) 128.
**17. Menurut Carl F.H. Henry, istilah postmodernis pertama kali
dipergunakan oleh John Cobb pada tahun 1964; kemudian penggunaan istilah itu
diikuti oleh Jacques Derrida, Richard Rorty, Michael Foucalt, Stanley Fish,
David Tracy, George Lindbeck of Postmodernism: An Evangelical Engagement [ed.
D. S. Dockery; Wheaton: BridgePoint, 1995] 35).
**18. Bdk. Charles Colson dan Nancy Pearcey, "Poster Boy for
Postmodernism," Christianity Today 42/13 (November 16, 1998) 120.
**19. Bila ada yang bertanya: Bagaimana caranya mereka menolak
kebenaran yang objektif itu, maka jawabnya adalah dengan mengembangkan tradisi
interpretasi terhadap cerita yang bersifat lokal atau naratif. Validitas yang
dibangun adalah validitas interpretasi yang terbatas dan subjektif. Karena
sifatnya yang terbatas dan subjektif, maka interpretasi terhadap naratif yang
berasal dari manapun tidak boleh dimutlakkan, termasuk semua cerita yang ada
dalam Alkitab.
**20. The Gospel in a Pluralist Society (Grand Rapids: Eerdmans, 1989).
1. Karena pelayanannya melayani sebagai missionaris di India selama hampir 40
tahun, rasanya cukup tepat bagi Newbigin untuk memaparkan sekelumit masalah
perjumpaan iman Kristen ketika berhadapan dengan masyarakat pluralis dalam konteks
pelayanannya di sana.
**21. Untuk mempelajari bagaimana bapa-bapa gereja menghadapi peganisme
Romawi, lihat R. L. Wilken, "Religious Pluralism and Early Christian
Theology," Interpretation 40/4 (October 1986) 379-391.
**22. D. A. Carson, "Christian Witness in an Age of
Pluralism" dalam God and Culture: Essays in Honor of Carl F. H. Henry (ed.
D. A. Carson & J. Woodbridge; Grand Rapids; Eerdmans, 1993). 33
**23. Sebenarnya Troeltsch adalah seorang filsuf dan ahli teori ilmu
sosial. Ia pernah mengecap pendidikan di Erlangen, Berlin dan Gottingen, ia
belajar di bawah bimbingan Albrecht Titschl, salah seorang tokoh teologi
liberalisme. Dalam karirnya ia menjadi profesor di Universitas Heidelberg pada
usia yang masih amat muda, yaitu 29 tahun. Ia juga adalah seorang ahli politik
serta memiliki pandangan teologi yang tidak jauh berbeda dari gurunya, yaitu
teologi liberalisme.
**24. Lih. Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian
Churches (2 vols. ET; Chicago: University of Chicago, Press, 1960) 61-68,
328-343.
**25. "A Human View of Truth" dalam Truth and Dialogue in
World Religons: Conflicting Truth-Claims (ed. J. Hick; Philadelphia:
Westminster, 1974) 35; bdk. tulisan Smith yang lain: The Meaning and End of
Religion (New York: Harper and Row, 1978) 322 dan Questions of Religious Truth
(London: V. Gollancz, 1967). 67-68.
**26. God Has Many Names (Philadelphia: Westminster, 1982) 36. Sama
seperti Hick, menurut J. Dupuis: "If Christianity sincerely seeks a
dialogue with other religious traditions--which it can only seek on a footing
of equality--it must first of al renounce any claim to uniqueness for the
person and work of Jesus Christ as a universal constitutive element of
salvation" (Jesus Christ at the Encounter of World Religions [Faith Meet
Faith Series; Maryknoll: Orbis, 1991] 106).
**27. Hal inilah yang diamati oleh John Sanders yang terjadi pada para
penganut pluralisme. Menurutnya: "Radical pluralists do not believe that
Christianity is the one true or even highest religion in which the other major
religions find their fulfillment; they believe that all religions are valid and
none may truthfully claim supremacy. They urge Christians to move from a
Christ-centered faith that excludes other people to a God-centered faith that
includes other by claiming that all religions are acceptable. It is not enough,
say pluralists, to say all people will be saved in the lifeboat of Christ; we
need to affirm that all people already have their own lifeboat and don't need
another one" (No Other Name: An Invetigation into the Destiny of the
Destiny of the Univangelized [Grand Rapids: Eerdmans, 1992] 115-116).
**28. No other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward
the World Religions (Maryknoll: orbis, 1986) 143.
29. Ibid. 200.
**30. Ibid. 5 [penegasan ada pada tulisan aslinya]. Jikalau kita
bertanya: Bagaimana bangsa-bangsa lain diselamatkan? Knitter akan menjawab:
"The universal possibility of salvation was clearly recognized but
especially during the first half of twentieth century Catholic theologians came
up with ingenious concepts to include within the church all traces of salvation
outside it; saved non-Christians belonged to the 'soul' of the church; they
members 'imperfectially,' 'potentially (h. 123).
**31. S. W. Ariarajah, The Bible and People of Other Faiths (Geneva:
WCC, 1985) 21-31. Lih. juga pendapat dari penulis yang sama dalam
"Religious Plurality and Its Challenge to Christian Theology,"
Perspectives 5/2 (February 1990) 9.
**32. God and the Universe of Faith (London: Collins, 1977) 131.
**33. "The Christian Chruch's Response to Pluralism," Journal
of the Evangelical Teological Society 35/4 (December 1992) 489.